Aku pernah bertanya dalam hati, berapa ya jumlah motor yang berlalu lalang tiap harinya di kota Jakarta? Motor dengan berbagai jenis dan merek ini bak laron yang memenuhi setiap sisi jalan kota Jakarta.

Motor-motor ini tidak mau berhenti melaju dalam situasi dan keadaan apapun. Mereka menyelip kanan kiri jalan tanpa memperhatikan keberadaan mobil-mobil besar yang siapa tahu setiap saat bisa menjeput nyawa pengendaranya. Jalan macet seolah tidak menjadi tanda mereka untuk berhenti, alhasil trotoar pejalan kaki pun digasak motor ini.

Hal yang sangat mengkhawatirkan juga adalah motor yang tidak berhenti di palang pintu rel kereta api, padahal lampu merah telah menyala dan penghalang telah diturunkan. Di perlintasan rel kereta, saking licinnya rel motor sering terpeleset. Di jalan-jalan besar seperti Sudirman dan Gatot Subroto pun para pengendara motor dengan santai berkendara berseliweran diantara mobil, bus besar dan truk. Jika kita melihat dari dalam mobil, wuih pemandangan itu sungguh mengkhawatirkan.


Sepeda motor, yang rata-rata kapasitas mesin kecil antara 100 – 150cc telah menjadi kendaraan wajib bagi wong cilik di
Jakarta yang tidak mau bersaing berdesak-desakan di kereta maupun di bus. Padahal yang namanya berdesak-desakan, walau tidak di dalam angkutan umum mereka tetap saja berdesakan di jalan bahakan di ruang terbuka yang penuh polusi.


Ada anekdot lucu mengenai pengendara motor yaitu, kalau hujan tidak kepanasan dan kalau panas tidak kedinginan. He he lelucon yang garing…….


Ada baiknya memang kita mempertimbangkan untung rugi memakai motor:


Pertama adalah faktor safety dan kesehatan: Angka kecelakaan motor ini di
Jakarta sangat tinggi. Sudah beratus-ratus korban jiwa hilang akibat kecelakaan sepeda motor. Mengendarai motor di jalan raya berarti memeprtaruhkan nyawa. Sekali senggolan dengan kendaraan lain maka anggota tubuh yang langsung kena impact-nya. Ini berbeda jika naik kendaraan roda 4 (baik umum maupun pribadi) kalau senggolan paling bodi kendaraan yang penyok. Dari sisi kesehatan, berada di ruang terbuka diantara kepulan asap polusi membuat kesehatan kita menjadi rentan. Penyakit yang berhubungan dengan pernafasan dan juga infeksi paru-paru siap menerpa. Belum lagi rasa sakit dan penat akibat terlalu lama duduk diatas motor.


Kedua, dari sisi tata
kota, keberadaan sepeda motor di jalan raya yang membuat jalan menjadi semrawut sungguh tidak elok dipandang. Apalagi bunyi hingar bingar suara motor yang senantiasa terdengar di seluruh penjuru kota. Polusi bunyi dari motor ini kadang nggak pernah terfikir sebagai dampak negatif dari keberadaan motor ini.


Ketiga, motor adalah penyumbang polusi di jalan raya. Jika mobil menghabiskan 10 liter per hari untuk berkendara di dalam
kota, motor rata-rata menghabiskan 2 liter per hari. Sadarilah bahwa setiap liter BBM (Premium) yang dikeluarkan knalpot motor menghasilkan berapa gram berbagai gas polutan di atmosfer Jakarta.

Keempat, motor memboroskan keuangan negara. Motor menggunakan premium yang sampai saat ini masih dengan harga subsidi. Sejak krisis moneter terjadi jumlah motor di Jakarta berkembang mencapai angka jutaan. Jika setiap satu dari tiga orang memiliki motor maka jumlah motor di Jakarta (Jabotabek) adalah 4 juta. Nah jika sehari motor menghabiskan 2 liter maka dalam sehari total BBM yang dibakar sejumlah 8 juta liter. Jika misalnya Pemerintah mensubsidi setiap liter premium sebesar Rp2500, asumsi harga pasaran internasional Rp7000 dan harga premium per liter Rp4500, maka total subsidi untuk motor di Jakarta tiap hari sebesar Rp20 Milyar. Dalam setahun subsidi tersebut akan berjumlah Rp7.2 Trilyun (betul-betul luar biasa). Bandingkan dengan perkiraan PKB (pajak kendaraan bermotor) yang berjumlah kira-kira Rp600Milyar, dengan asumsi per motor membayar PKB sejumlah Rp150 ribu per tahun. Kalau melihat angka ini maka pemerintah sebenarnya rugi, yang untung siapa ? tentu saja produsen kendaraan bermotor. Bayangkan jika harga per motor rata-rata 10 juta maka uang yang mengalir ke produsen sebesar Rp 40 Trilyun.


Kelima, adalah faktor biaya pribadi. Memiliki kendaraan bermotor belum tentu lebih ngirit daripada naik kendaraan umum. Sering orang hanya mempertimbangkan harga premium saja, yang berjumlah sekitar Rp9 ribu (2 liter premium). Jumlah ini hanya seribu atau dua ribu lebih ngirit daripada naik bus umum. Orang sering tidak mempertimbangkan komponen biaya perawatan motor dan biaya penyusutannya (kira-kira satu juta per tahun). Belum lagi resiko terkena tilang jika salah masuk jalan verborden.


Keenam adalah resiko waktu. Ini sebenarnya juga berlaku bagi pengendara mobil juga. Berapa jam waktu yang dihabiskan di jalan adalah jumlah opportunity lost karena nggak bisa berbuat yang lain selain mempelototi jalan saja. Padahal jika naik kendaraan umum, waktu bisa saja dimanfaatkan untuk membaca buku, atau sambil mengerjakan pekerjaan kantor di bus.

Ketujuh, motor adalah alternatif kendaraan yang sangat rapuh. Jika terkena halangan berupa banjir sedikit saja maka motor menjadi rusak. Berapa rupiah lagi uang yang harus dikeluarkan untuk repair.

Nah mengingat tujuh point di atas, apakah anda masih mau terus pakai motor ???