Kemiskinan, kata itu mungkin yang paling tepat untuk menggambarkan situasi di kedua kota ini. Betapa tidak, sebagai suatu daerah yang kaya akan hasil alam berupa padi dan ikan, Kemiskinan di kedua kota ini sangat terlihat jelas di depan mata.

Kemiskinan menjadi kesan pertama dari kunjunganku ke kedua kota tersebutbBeberapa hari yang lalu tepatnya dari 6 sampai 9 Maret.

Indramayu, daerah pesisir pantura di propinsi Jawa Barat sebenarnya kaya akan sumber daya alam. Di daerah tersebut terdampar luas ribuan hektar sawah dataran rendah yang subur. Daerah pesisir juga menjanjikan sumber daya perikanan yang melimpah. Di beberapa tempat juga aku jumpai beberapa sumur minyak milik Pertamina yang masih beroperasi. Kilang minyak dengan dua obor besar (Flare) juga ada di kawasan ini yaitu di daerah Balongan.

Mungkin sudah menjadi rumus umum di negeri kita ini bahwa kemiskinan akan selalu berada pada tempat yang sama dengan apa yang disebut kekayaan (sumber daya alam). kemiskinan itu terlihat jelas di jalan-jalan dimana banyaknya manusia yang melakukan pekerjaan yang sebenarnya tidak layak dari sisi kemanusiaan. Disana aku jumpai tenaga-tenaga muda yang berprofesi sebagai tukang becak, di depan toko yang terhitung besar untuk ukuran Indramayu, berderet-deret wajah kusut memperhatikan warga yang berbelanja dengan pandangan mata kasihan.

Suasana kehidupan juga terasa suram akibat cuaca di laut jawa yang kurang bersahabat. Sudah beberapa hari para nelayan tridak mendapatkan mata pencaharian akibat ganasnya ombak yang siap memecahkan kapal dan membuat periuk nasi menjadi kosong. Mereka-mereka menjadi sangat rentan akibat sutuasi musim yang kurang bersahabat. Mungkin dalam beberapa minggu lagi mereka bisa mendapatkan rezeki dari tengah laut. Dari cerita warga di sana, beberapa nelayan yang nekat melaut terhantam ombak hingga kapal mereka pecah dan nyawa mereka pun hilang tersapu ombak. Inilah yang menyebabkan kapal-kapal nelayan yang berukuran kecil teronggok di bibir sungai yang berwarna coklat.

Di kegelapan malam, ketika aku mampir si sebuah kedai sate, aku jumpai kakek-kakek yang sudah sangat tua berjaga di depan kedai sate dengan memakai baju kuning (baju parkir). langkahnya yang terhuyung-huyung, sungguh sangat kasihan untuk menjalani profesi sebagai tukang parkir.

Di terangnya siang hari, pemandangan kotras timbul. Diantara hijaunya sawah, sangat jarang terlihat para petani yang memakai caping. AKu kaget melihat pemdangan orang-orang muda (ABG) dengan baju hitam ketat dan rambut model Punk berjalan-jalan berkerumun dari rumah-ke rumah dari toko-ke toko bernyanyi dan mengamen. Sungguh aku trenyuh melihat keadaan itu.

Di Cirebon, kota yang relatif lebih ramai dibandingkan Indramayu, situasinya juga tidak begitu berbeda jauh. Sebagian besar nelayan juga banyak yang stagnan karena cuaca. Hidup mereka kembang kempis tertekan oleh ganasnya cuaca. hasil yangkapan ikan yang terbatas bisa langsung habis untuk menutup hutang. Mereka bahkan tidak lagi memiliki modal untuk membeli solar untuk menghidupkan mesin perahu. Minyak tanah menjadi langka karena mereka menggunakannya bukan untuk memasak melainkan untuk mengganti solar.

Di beberapa tempat juga aku jumpai banyak orang yang menengadahkan tangan sambil mengucapkan kata-kata yang menghiba belas kasihan. Wajah-wajah mereka yang menunggu di depan toko juga sangat kusut, berharap mungkinkah masa depan mereka bisa berubah.

Semoga